![]() |
Ilustrasi. Arsitektur. (Foto: Dok. Rachel Fields/Canva) |
LAMONGANTERKINI.ID — Di tengah pesatnya transformasi digital dan geliat pembangunan yang masif, dunia arsitektur mengalami perubahan besar.
Profesi ini tak lagi hanya soal menggambar atau mendesain bangunan. Kini, arsitek dituntut untuk profesional, adaptif, dan memiliki legalitas praktik melalui Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA).
Seiring meningkatnya kesadaran akan ruang yang berkelanjutan dan urbanisasi ekstrem, kebutuhan akan arsitek muda semakin tinggi. Namun, peluang ini juga dibarengi dengan tantangan besar: tanpa STRA, pintu menuju proyek-proyek besar nyaris tertutup rapat.
Teknologi ubah paradigma profesi arsitek
Digitalisasi telah mengubah wajah profesi arsitek secara menyeluruh. Penggunaan aplikasi seperti AutoCAD, Revit, dan Building Information Modeling (BIM) sudah menjadi standar wajib dalam industri desain dan konstruksi. Kolaborasi tak lagi terbatas ruang; seorang arsitek di Indonesia kini bisa merancang proyek di luar negeri tanpa perlu berpindah lokasi.
Namun, kemajuan ini juga membawa konsekuensi: gelar sarjana tak lagi cukup. Seorang lulusan arsitektur harus menempuh pendidikan profesi, memahami kode etik, dan lulus uji kompetensi agar dapat diakui secara profesional.
“Bisa juga mengikuti penataran kode etik dan pengembangan keprofesian berkelanjutan sehingga kemudian diperkenankan mengikuti uji kompetensi hingga pada akhirnya memiliki bukti tertulis untuk melakukan praktik arsitek dan bertanggung jawab pada pekerjaan arsitektur yang dirancang," ungkap Ulinata, ST.Ars, M.T, Dosen Arsitektur Universitas Kristen Indonesia (UKI).
STRA: Legalitas wajib arsitek profesional
Dokumen yang paling vital untuk seorang arsitek profesional adalah Surat Tanda Registrasi Arsitek (STRA). Dikeluarkan oleh Ikatan Arsitek Indonesia (IAI), STRA merupakan bukti legal yang menunjukkan bahwa seorang arsitek telah memenuhi syarat kompetensi dan etika profesi.
“Dalam dunia profesional, seorang arsitek yang tidak memiliki sertifikat kerja akan kesulitan bersaing di dunia kerja,” tegas Ulinata.
Bagi proyek-proyek berskala besar, seperti tender pemerintah, BUMN, hingga kerjasama multinasional, keberadaan STRA menjadi syarat mutlak. STRA bukan hanya administratif, tetapi juga memperkuat reputasi dan posisi tawar seorang arsitek di mata klien dan institusi.
Kampus harus bergerak sejalan dengan era digital
Transformasi dunia arsitektur juga mendorong kampus dan lembaga pendidikan untuk melakukan pembenahan besar. Materi pembelajaran kini banyak yang mengarah pada isu-isu global, seperti green building, urbanisasi ekstrem, dan krisis iklim.
Salah satu contoh pembaruan pendidikan datang dari Kunkun Academy, lembaga yang menerapkan metode berbasis proyek nyata. Mahasiswa diajak untuk langsung terlibat dalam proyek desain arsitektur, bukan sekadar teori di kelas.
Dengan pendekatan ini, lulusan diharapkan bukan hanya piawai menggambar, tetapi juga visioner dan siap menghadapi tantangan nyata. Baca selengkapnya melalui website resmi www.kunkunacademy.com.
Etika dan portofolio lebih penting dari sekadar estetika
Di era saat ini, portofolio arsitek muda tak cukup hanya menampilkan desain yang indah. Klien dan institusi menilai lebih dari itu—apa dampak sosial dan ekologis dari desain tersebut?
Etika profesi menjadi sorotan utama, terlebih dalam proyek yang menuntut transparansi dan tanggung jawab sosial. Penguasaan terhadap perangkat lunak desain terbaru, manajemen proyek, serta konsep bangunan ramah lingkungan menjadi kebutuhan dasar.
Beruntung, kini banyak komunitas dan platform profesional yang menawarkan pelatihan daring, workshop, hingga webinar untuk mendukung pengembangan keprofesian berkelanjutan.
STRA jadi kunci tembus proyek nasional
Dengan STRA di tangan, arsitek muda tidak hanya memiliki izin praktik, tapi juga membawa simbol integritas dan kredibilitas. Inilah yang menjadi kunci agar bisa melangkah ke proyek nasional maupun internasional.
“Untuk meningkatkan mutu karyanya, seorang arsitek perlu meningkatkan penguasaan dan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui pengembangan keprofesian berkelanjutan sehingga dapat bersaing secara kompetitif dengan arsitek lainnya,” jelas Ulinata.
Kini, arsitek bukan lagi dipandang hanya sebagai "tukang gambar". Mereka adalah agen perubahan, yang bertanggung jawab terhadap wajah kota, komunitas, hingga masa depan lingkungan.
Arsitek muda yang memiliki STRA, menjunjung etika profesi, berwawasan luas, dan mampu beradaptasi dengan kemajuan teknologi akan memiliki karier yang menjanjikan. Bukan hanya sebagai perancang, mereka juga bisa berkiprah sebagai konsultan, dosen, inovator, hingga perancang kota masa depan.